zmedia
RGOPOKER 
BROTOGEL

Ini Semua Tentang Pengalaman

Tidak ada voting

Selepas mencium dan melumat bibirku, tanganku beranjak menyusup ke celah kimononya. Aqu memeluk badannya. Kusandarkan kepalaqu pada dadanya yg penuh bulu itu. Saat bibirku menyentuh puting susunya, secara refleks aqu mencium kemudian mengulum dan menggigit kecil putingnya itu. Bulu-bulu badannya yg lekat pada badanku semakin membuat mabuk kepaygku tak tertolong lagi. Aqu menciumi dada Pak Dwi sambil merintih lembut. Demikian pula Pak Dwi mengeluarkan desahan beratnya sambil tangannya menyapu rambutku. Masih kudengar samar-samar rayuan Julio Iglesias tadi.

Pelan, sambil terus saling berpelukan dan melumat, kami beringsut menuju peraduan. Begitu melewati ambang pintu ruang makan, Pak Dwi merengkuh punggung dan pahaqu kemudian mengangkatnya, menggendongku. Dibawanya aqu dan direbahkannya ke ranjang. Aqu merasa, sekaranglah perjamuan besar yg sesungguhnya bagi Pak Dwi. Aqulah yg akan jadi santapan utama perjamuannya. Dan yg 2 jam pertama tadi hanyalah “apetizer” atau makanan pembuka bagi beliau untuk mengawali jamuan besarnya sekarang ini. Bagai kijang yg telah lumpuh oleh panah beracun cinta yg dilepaskan Pak Dwi, aqu sepenuhnya menjadi tawanan birahinya. Dan aqu sendiri memasuki ambang kenikmatan penyerahan diri. Suatu bentuk kenikmatan hasrat birahi yg hadir sebab ketak mampuan untuk berkata “tak” sebab dgn penyerahan diri tersebut aqu sedang menyongsong pucuk-pucuk birahiku yg penuh kenikmatan.

Tanpa ada yg dilepaskan dari badan-badan kami, aqu dan Pak Dwi kembali bercumbu. Ternyata dia tak langsung menindihku sebagaimana yg kubaygkan sebelumnya. Aqu diseretnya ke tepian ranjang sampai setengah kakiku terjuntai. Pak Dwi bersimpuh di lantai meraih kakiku dan mulai mencium. Mulai dgn kaki kiriku, bibir dan lidah Pak Dwi menyisiri telapak kaki, betis dan jari-jari kakiku. Lidahnya menari di antara celah-celah jari kakiku dan bibirnya mengulum. Gelinjang yg sangat dahsyat langsung menerpaqu. Aqu tak bisa menghindar untuk tak menggeliat-geliat. Kegelian yg amat sangat menyerangku pada setiap jilatan dan sedotan bibir Pak Dwi. Puas menggauli telapak, tumit dan jari kaki kiriku, ganti tangannya meraih kaki kananku. Dia melaqukannya seperti yg sebelumnya dilaqukannya pada kaki kiriku. Dan kembali aqu menggeliat menahan kegelihan yg amat sangat. Aqu juga mendesah dan merintih, meminta agar Pak Dwi menghentikan manuver bibir dan lidahnya. Tapi tentu saja tak bisa, kenikmatan yg demikian saja dipotong di tengah jalan. Justru desahan dan rintihan serta gelinjang kaki-kakiku memacu hasrat Pak Dwi naik semakin menggila. Entah berapa kali aqu dgn tanpa sengaja menendang mukanya.

Setelah puas menciumi dan menjilati kakiku, bibir dan lidahnya merambat ke kedua betisku. Betisku yg getas (keras tetapi mudah patah, atau pecah, sebagai gambaran ttg betisku yg sekal tetapi sangat peka terhadap berbagai sentuhan lelaki) dia lumat sampai kuyup oleh ludahnya. Kegelian yg amat sangat segera menyerangku setiap kali lidahnya yg terasa sedikit kasar itu menyapu pori-pori betisku. Ketika dia terus naik menuju ke kemaluanku sebagai pusat kenikmatan dunia digigitnya lututku. Langsung kakiku berontak kegelian. Tangan-tangannya yg kuat menahan kakiku, sementara bibir dan lidahnya terus melumat lututku. Aqu sangat tersiksa rasanya. Seluruh punggungku seperti dirambati jutaan semut, bulu kudukku berdiri. Perasaan sangat merinding merata pada bagian belakang badanku. Kini tangankulah yg kuharapkan bisa melepaskanku dari siksaan yg nikmat ini. Aqu bangkit setengah duduk. Kurenggut kepala Pak Dwi dan menolaknya dari ciuman di lututku. Tetapi aqu tak cukup kuat, wanita ringkih lemah seperti aqu ini melawan ganasnya beruang yg menancapkan rahang-rahangnya pada lututku ini. Tapi aqu terus melawannya, berusaha menendangnya, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.

Setelah dari lututku, wajah Pak Dwi merangsek ke atas lagi. Dgn tangan-tangan kuatnya yg memegang erat-erat kedua pahaqu, kembali bibir dan lidah Pak Dwi melumat pahaqu.
“Ooouuhh, jangan, jangan! Aqu bencii, aqu benci kamuu Dwio! Setaann kamu Dwio!”.
Aqu melupakan rasa hormatku pada Pak Dwi, mengumpat sambil berontak sejadi-jadinya. Aqu mengumpat meracau layaknya wanita kemasukan jin. Suaraqu menjadi parau kehabisan suara.

Untunglah, Pak Dwi tenang saja. Sangat paham dan tenang. Hebat. Terus saja dia melaqukan hal tersebut. Dia menjadikan dirinya seorang sadistis yg menikmati penderitaan dan kesakitan orang lain. Dan disinilah aqu menemukan apa yg disebut sebagai “sensasi birahi”. Mungkin bagi Pak Dwi yg telah matang dalam petualangan seksnya, dia tahu persis dan sering mengalami reaksi lawan cumbunya seperti begini. Sikapnya yg tenang merupakan bentuk toleransi birahinya agar lawan cumbunya berkesempatan meraih sensasi erotiknya.

Bagiku sendiri, dalam instingku yg sangat jauh, semua upaya perlawananku sebenarnya bukan untuk membuat lawanku menyerah. Semua perlawananku itu adalah merupakan ungkapan kenikmatan tak tersampai yg disebabkan hasrat birahi yg melemparkanku jauh ke langit, ke bintang-bintang nikmat tak terperi. Kenikmatan yg menghempaskanku, jiwaqu, saraf-saraf pekaqu, darahku sampai ke titik yg paling ekstrim.

Seandainya saja sebab kurang pengalaman dan pemahamannya, kemudian Pak Dwi menuruti kemauan berontakku, pasti aqu akan jatuh pada kekecewaan yg berkepanjangan. Bukankah kita sering mendengar, bahwa seorang istri baru bisa meraih klimaksnya pada saat dia diperkosa. Lelaki-lelaki kasar, penuh keringat dan debu telah memperkosanya. Semua perlawanannya sia-sia. Kemaluan lelaki itu dipaksakannya menembus kemaluannya. Dan pada saat kemaluannya telah tenggelam dilahap kemaluan sang istri tersebut, dan sang pemerkosa mulai dgn kasarnya mengayun dan memompa kemaluannya ke kemaluannya, baru sang istri tersebut mendapatkan kenikmatan yg tak terpana. Selanjutnya sang istri ketagihan. Tetapi suaminya tak pernah bisa memberikannya, walaupun suaminya tampan, bersih dan rapi. Tetapi tak lagi mampu memicu birahi istrinya. Mungkinkah hal seperti itu juga mengidap pada diriku?

Pak Dwi tak menyelesaikan ciuman dan jilatannya sampai beliau mendekat ke pangkal pahaqu. Dia lepas ikatan kimonoku. Dgn agak kasar dia balikkan badanku agar tengkurap. Dan dia merangkak diatasku. Dia menuju punggungku. Dia cengkeram bahuku. Dia gigit kudukku. Sekali lagi sebab gelinjang birahiku, aqu berusaha berontak. Untung saja tangan Pak Dwi sangat kuat menjeratku. Ditindihnya aqu dgn badannya yg berbobot 75 kg itu. Dan sedikit banyak hal itu telah membuatku benar-benar kesakitan dan menyesakkan nafasku.

Tetapi saat bibir dan lidah Pak Dwi kembali melumat-lumat, sampai seluruh dataran serta lembah punggungku basah kuyup oleh ludahnya, segala siksaan tadi lenyap berubah menjadi nikmat birahi yg sangat kurindukan. Dgn terus merangsek tangan-tanganku agar tak memberontak, ciuman dan jilatan Pak Dwi melata ke pinggulku. Betapa tak tertahankan kegelianku. Di tempat ini, di pinggulku sedemikian banyak saraf-saraf peka birahiku. Aqu hanya bisa berteriak mengaduh. Umpatanku tak lagi muncul.

Hanya teriakan sebab deraan nikmat yg terus memenuhi kamar President Suite Pak Dwi ini. Dan kembali kudapatkan sensasi erotik, saat tangan-tangan kuatnya membelah bukit pantatku disusul kemudian lidah Pak Dwi menjilati duburku. Pak Dwi yg boss besar kantor suamiku ini, kini sedang menjilati lubang pembuangan istri anak buahnya. Lidahnya yg besar dan panjang mencuci analku. Kerut-kerut analku di sedot-sedotnya. Lubang analku disedot-sedotnya. Kemudian aqu ditunggingkannya agar lubang pantatku menjadi lebih terbuka sampai seluruh wajah Pak Dwi mudah tenggelam ke dalamnya.

Aqu telah lelah menggeliat dan berteriak. Suaraqu telah parau. Aqu hanya bisa menangis sekarang. Aqu menangis sebab rasa berjuta nikmat yg berbaur. Aqu menangisi rasa nikmatku. Di sini aqu mulai merasakan bahwa impianku akan hadir kembali. Rasa ingin kencing yg mendesak dari dalam kemaluanqu menandakan bahwa aqu telah dekat dgn klimaksku. Rasa ingin kencing itu terus menanjak. Aqu seakan melihat dataran pasir yg empuk dan luas. Aqu melihat kedamaian dan kelegaan birahi. Aqu ingin mendarat di atasnya. Kurasakan kesempatan klimaksku ini hadir semakin melaju menuju ambangnya. Kuisyaratkan pada Pak Dwi. Aqu menaikkan pantatku menjemput jilatan-jilatan lidahnya. Aqu menaik-naikkan pantatku dan meregangkan kaki-kakiku menahan nikmat gatalnya kemaluanku sebab menahan keinginan kencingku. Pak Dwi langsung memahaminya.

Dia bangkit berdiri di belakang analku. Kemaluannya yg keras lurus ke depan dia sodorkan ke bibir kemaluanqu. Kurasakan kemaluannya melekat dan kemudian dgn sedikit dorongan yg berulang, kemaluannya amblas ditelan kemaluanqu. Aqu seperti akan pingsan menerima kenikmatan ini. Seperti anjing jantan pada betinanya, Pak Dwi setengah berdiri memelukku dgn kemaluannya menerjang kemaluanku. Mulailah ayunan dan pompaan kemaluan Pak Dwi keluar masuk ke kemaluanku. Aqu menggoyg-goyg dan maju mundur mengimbangi iramanya yg sangat membuatku kegatalan di seputar kemaluanqu. Terus terang inilah salah satu posisi favoritku. Aqu merasakan kenikmatan yg maksimal dgn posisi begini. Baygkan saja, bukankah kemaluan yg ngaceng cenderung mencuat ke atas dari akarnya.

Saat menggosok dalam kemaluan, kemaluan seperti itu menggelitik dinding atas kemaluanqu dgn lebih kuat sampai titik pekaqu rasanya di garuk dgn ulek-ulek sambal yg besar. Kemudian dalam posisi “Doggy Style” ini, kemaluanqu cenderung lebih sempit mengetat. Jadi semua urat-urat pekaqu akan lebih mencengkeram kemaluan siapapun yg menembus kemaluanku. Saygnya Mas Graha tak bisa melaqukan cara seperti ini. Sebab kemaluannya yg terlampau kecil tak akan mampu melewati bongkahan pantatku yg gede ini. Maka yg akan terjadi adalah, kemaluannya hanya akan sedikit menyentuh gerbang kemaluanqu. Kemaluan Pak Dwi yg jauh lebih panjang dan besar langsung bisa menggelitik tepi-tepi bibir rahimku.

Aqu jadi binal. Kegatalanku sangat merasuk dalam kemaluanqu. Aqu ingin menggaruknya. Kugoygkan pantatku maju mundur sesampai gesekan batang kemaluan Pak Dwi benar-benar kurasakan seakan-akan melumat dinding kemaluanqu. Aqu mendesah dan merintih setiap kali Pak Dwi menusuk maupun menarik kemaluannya. Aqu kagum dgn stamina Pak Dwi. Apakah ini berkat minuman anggur Chinanya tadi? Apakah juga rasa birahiku yg semakin meninggi disebabkan satu sloki anggur yg disodorkan Pak Dwi kepadaqu tadi? Mungkin saja. Badanku merasa lebih panas dan aliran darahku yg lebih cepat benar-benar membuat birahiku meletup-letup dan aqu seakan kewalahan dalam melawan kegatalanku sendiri yg hebat melanda kemaluanku.

Desakan birahiku yg semakin menghebat disebabkan kegatalan tak terkira dari kemaluanqu membuatku menjadi liar dan buas. Aqu lupa daratan. Aqu ingin jadi penguasa. Aqu ingin Pak Dwi menuruti mauku. Aqu ingin Pak Angoro diam telentang dan biar aqu saja yg akan memperkosanya. Aqu benar-benar tak tahan lagi. Aqu bangkit. Dgn tetap mempertahankan kemaluan Pak Dwi dalam kemaluanku, aqu membelakanginya dan mencoba memompa dan menaikturunkan pantatku ke kemaluannya. Kuraih leher Pak Dwi yg diresponsnya dgn menjemput dan langsung memeluk buah dadaqu sambil bibirnya mendekat ke bibirku. Kami saling berpagu dan melumat-lumat.

Pompaan pantatku diterima Pak Dwi dgn erangan bak serigala yg mendapatkan mangsa dan dgn taring-taringnya merobek daging-dagingnya dgn buas. Dgn keliaran dan kebuasan hasratku, aqu akan mengubah posisiku. Aqu menginginkan apa yg menjadi keinginanku. Kulepaskan kemaluan Pak Dwi dari kemaluanqu. Kudorong dia agar telentang di kasur. Kemudian kunaiki badannya yg besar itu. Aqu beringsut sampai kemaluannya berada tepat di bawah kemaluanqu. Kuraih dan kuarahkan kemaluannya ke lubang kemaluanku. Kemaluanku yg menyempit membuat terobosan kemaluan Pak Dwi tak langsung bisa tertelan kemaluanqu. Aqu harus lebih menekannya dgn sekaligus menggeliat kecil memutar pantatku. Dgn cara itu lubang kemaluanqu akan lebih longgar. Dan akhirnya kemaluanku dapat menelan seluruh batang kemaluan Pak Dwi.

Dalam posisi ini aqu melaqukan gerakan “tekan dan maju-mundur”, sambil menekan lebih ke bawah, pantatku maju mundur untuk membuat batang keras Pak Dwi bisa seakan menggaruki gatalnya rongga kemaluanqu yg dipenuhi peka birahi, dan Pak Dwi akan merasakan nikmat kemaluannya yg dilumat-lumat kemaluanku. Inilah kenikmatan yg sama-sama dirasakan oleh Pak Dwi dan aqu. Kegatalan yg tetap meruyak dalam kemaluanqu memaksaqu mempercepat goygan pantatku. Bahkan Pak Dwi kuminta tak bergerak agar dapat lebih merasakan betapa kemaluanqu meremas dgn ketat kemaluannya. Dan Pak Dwi patuh saja, sebab dgn cara itu dia telah merasakan kenikmatan luar biasa tanpa harus melaqukan gerakan yg melelahkan. Aqu juga melaqukan “tekan dan putar”, dgn cara menekan kemaluanku ke bawah lebih keras kemudian memutar-mutar pantatku. Dgn cara itu aqu dapat menikmati bagaimana kemaluan Pak Dwi “mengobok-obok” rongga kemaluanqu, dan Pak Dwi merasakan nikmat kemaluannya yg diremas-remas oleh kemaluanqu. Dua cara tersebut kujadikan andalan di samping sesekali juga melaqukan “pompa naik turun” atau pompa maju-mundur” yg selalu berulang kulaqukan.

Variasi dan selang-seling teknik di atas akan menghasilkan sejuta nikmat birahi. Apalagi dalam melaksanakannya dibarengi dgn permainan remasan tanganku pada dada, ketiak dan pinggul Pak Dwi, dan sebaliknya remasan tangan-tangan Pak Dwi pada pinggulku dan buah dada serta puting-putingku. Sungguh kenikmatannya tak akan pernah kami lupakan. Kami secara berbarengan menjerit, mendesah, merintih dan mengerang. Dan lahirlah simfoni gerak dan suara-suara erotik bagaikan operet birahi oleh dua “artis penikmat seksual” yg sangat gaduh dalam kamar mewah President Suite Grand Hyatt Hotel itu. Dan akibatnya adalah aliran darah kami yg semakin cepat terpacu, birahi kami terbakar menyala-nyala. Kami bergerak mendekati keliaran.

Semua remasan, desahan, pompaan, sedotan, gerakan maju-mundur, sedotan, semuanya menjadi tingkah laqu yg cepat dan kasar. Simfoni bibir-bibir kami menjadi racauan tak terkendali. Saling melukai, saling mencaci dan mengumpat dgn mata-mata kami yg terbeliak sebab kesetanan birahi kami sendiri.
“Ayo Bu Graha pelacurku, sundalku, nikmat mana kemaluanku dan kemaluan Graha? Ayoo Buu jawab.., nikmat manaa.., hah?”.

“Aaayoo Dwio, teruzz, kemaluanmu enhhaakk.., teruzz, Dwio.., anjingkuu.., terusszzhh”.
Entah apa lagi. Semua kata-kata begitu saja terlontar tanpa taqut akan ada sanksi sopan-santun maupun etika dan batas kesopanan. Semua kata-kata itu menjadi begitu indah dan nikmat di telinga-telinga kami.

Dan disinilah “puncak jamuan malam” bagi Pak Dwi dan “puncak nikmat pesta perselingkuhan” bagiku, sama-sama kami raih. Rasa ingin kencingku yg sedari tadi telah mengalir membahana dan rasa ingin muntahnya kemaluan Pak Dwi yg menerima kombinasi serangan nikmat dari kemaluanku secara bersamaan mewujud. Dgn teriakan keras mirip lolong serigala lapar di malam hari dari mulut lupa diri Pak Dwi serta teriakan keras penuh beban histeris dari mulutku, Pak Dwi memuntahkan spermanya. Dan cairan birahiku pun meledak tumpah ruah, mewujudkan klimaksku yg paling nikmat yg pernah kudapatkan.

Gerakan kami tetap terus meninggi sampai kami berdua benar-benar tak menyisakan apapun pada badan-badan kami. Seakan badan-badan kami secara menyeluruh mencair menjadi sperma dan cairan birahi. Kemudian segalanya hilang, lumpuh dan sunyi. Seperti laiknya orang jatuh pingsan, segala yg kami pegang terlepas. Tangan-tangan kami, jepitan dan penetrasi kami lumpuh kendor dan lepas. Kami jatuh ke ranjang. Terlena dan pulas. Kami tertidur.

Saat aqu terbangun sebab kedinginan ruang AC kamar, kusempatkan untuk turun membuang air kecil. Kulihat Pak Dwi telah meringkuk dalam selimutnya. Kemudian aqu kembali tertidur. Kami terbangun sekitar pukul 9 pagi. Cahaya matahari yg hangat terasa menembus celah-celah tirai gorden hotel mewah ini. Aqu menggeliat dan melepas senyum pagiku pada Pak Dwi yg telah bangun lebih dahulu dan sedang membaca koran pagi di sofa. Dia lempar koran itu dan menyongsongku rebah kembali ke “ranjang pengantin” kami malam ini. Dia jemput bau kecut badanku. Dia cium aqu. Dia cium ketiak, buah dada, perut maupun pahaqu. Dia jilat dan kulum betis dan jari-jariku. Itulah “ucapan selamat pagi” Pak Dwi padaqu. Aqu seakan putrinya yg baru terbangun setelah selama seribu satu malam terlena dalam ayunan sihir nenek sakti. Aqu sangat bahagia dan perasaan tersanjungku terbit di pagi hari saat aqu bangun ini.

Kuambil dan kupakai kembali kimono kamar tidurku. Aqu bangkit menyusulnya duduk di sofa. Dari kursinya, Pak Dwi menghubungi room service. Dia minta 2 American breakfast dgn masing-masing double, telur setengah matang campur madu Arab. Kami saling mendekat, mendekatkan badan. Aqu bersandar di dadanya. Pak Dwi memelukkan tangannya pada dadaqu. Tak banyak kata-kata yg keluar dari mulut kami. Pikiran-pikiran kami berkelana sesuai dgn apa-apa yg telah rutin dan biasa menjadi kehidupan kami. Aqu teringat bunga di rumah yg seharusnya sedang kusirami pada jam-jam ini.

Tak sampai 10 menit, American breakfast kami telah dihidangkan. Kami sarapan dgn tetap tak banyak berkata-kata. Selesai sarapan aqu mandi. Air panas hotel mewah ini sungguh menyegarkan semua sendi-sendi badanku. Keluar dari kamar mandi, kulihat Pak Dwi sibuk telepon sana sini. Mungkin memang demikian kehidupan seorang eksekutif seperti dia. Kemudian Pak Dwi pergi mandi. Selesai mandi, masih dalam kimono kami masing-masing, kami kembali duduk di sofa. Dan kembali badan-badan kami saling mendekat dan melekat. Kemudian kami saling berpagut. Saling melumat, bertukar lidah. Sesekali Pak Dwi menggigit bibirku, dan aqu membalasnya. Tanganku menyusup ke dalam kimononya. Bulu-bulu badannya tetap saja membuatku merinding dan bergetar. Aqu sedikit mendesah.

Pak Dwi mengikuti tanganku, menyusupkan tangannya memeluk badanku. Pagutan kami menjadi lebih intim. Dan terdengar desahan-desahan kecil keluar dari mulut-mulut kami. Tanganku meremas punggungnya. Tangan Pak Dwi mengelus punggungku. Kutempelkan buah dadaqu ke dada berbulu Pak Dwi. Tiba-tiba terdengar bel di pintu. Pak Dwi bangkit menghampiri. Kulihat seorang petugas dgn seragam dinasnya menyerahkan bungkusan besar dalam tas kantong yg cantik dan secarik kertas tanda pengiriman barang pada Pak Dwi. Setelah ditandatanganinya lembar kertas pengiriman itu, dia raih bungkusan besar tersebut dan beranjak mendekatiku.

“Maaf Bu Graha, ini bukannya apa-apa. Saya hanya memperkirakan bahwa Bu Graha perlu ganti gaun setelah gaun yg kemarin lecek Ibu pakai. Coba lihat Bu. Mudah-mudahan pas buat Ibu”.
Ini merupakan bagian dari sedemikian hebatnya Pak Dwi menghargaiku. Semua detail ia pikirkan. Rasanya kalau aqu tolak akan mengurangi kebahagiaannya. Dgn hati-hati dan ucapan terima kasih, kuterima bungkusan dalam tas kantong cantik itu. Aqu buka kertas bungkusnya. Aqu temukan dos besar dgn tulisan tanda logo Oscar Lawalatta Fashion. Ah, bukan main wawasan Pak Dwi pada trend mode yg disukai ibu-ibu seusiaqu. Aqu pandang Pak Dwi dgn senyum bahagiaqu. Kemudian dos itu aqu buka.

Sungguh surprise bagiku. Ini sungguh luar biasa. Sutra Obin dalam jahitan “houture couture” Oscar Lawalatta. Sungguh luar biasa bagiku. Aqu langsung memperkirakan harga gaun seperti ini. Paling tak 5 juta rupiah Pak Dwi telah membelanjakannya pada rumah fashion si Oscar. Kulihat, tak lupa juga nampak bungkusan yg lebih kecil, pakaian dalam sutra pula berikut celana dalam dan BH-nya. Aqu tak dapat menyembunyikan kegembiraanku. Kucium Pak Dwi di bibirnya. Kusampaikan kekagumanku. Dan ukuran gaun itu, yg ternyata pas dgn ukuranku, M, medium.

Untuk menyenangkan hatinya, kuambil dan kurentang gaun Oscar itu. Terdiri dari 2 potong, rock & blus. Sutra Obin, yg demikian lembutnya, dgn pola kembang berwarna hijau lumut dan ungu menyebar pada latar kain berwarna merah muda. Oscar yg terkenal dgn gaya sedikit liar, dimana bagian bawah sengaja diekspresikan bebas menampilkan bahan baqu yg indah dari Obin, membuat gaun itu sangat berkarakter. Aqu senang dgn hal-hal yg berkarakter seperti ini. Setelah kupantas-pantaskan di depan cermin rias, aqu pamerkan pada Pak Dwi. Dgn selera humor yg kumiliki, aqu bergaya bak peragawati di atas catwalk-nya. Kami berdua tertawa terbahak penuh ceria dan bahagia di pagi itu. Sekali lagi kami saling merangkul dan berpagut. Aqu tahu, Pak Dwi masih ingin menikmati badanku. Ciumannya melepas hasrat birahinya dan tangannya menggerayg melepasi kancing-kancing baju Oscarku. Tali-talinya dilepaskan dari ikatannya.

Dgn senang hati kuserahkan badanku untuk dinikmatinya. Aqu masih tetap tawanannya dan aqu akan melayaninya sampai dia benar-benar merasakan kepuasannya secara total. Aqu menyelinapkan tanganku ke celana dalamnya. Dan kini kemaluannya yg hangat ada dalam genggamanku. Dia menuntunku ke sofa besar. Aqu dipangkunya.

Pak Dwi melepas ikatan kimononya sendiri sampai kami sama-sama setengah telanjang, hanya menyisakan celana dalam kami. Wajahnya langsung tenggelam ke ketiakku. Dia jilat dan lumat-lumat ketiakku. Kemudian merambat ke buah dadaqu berikut puting-putingnya. Aqu mulai menggelinjang. Birahi segera merambati badanku. Apalagi saat bulu-bulu badan Pak Dwi kembali menyentuh bagian-bagian badanku.

Aqu pasrah menerima serangan ciuman dan jilatan di seluruh badanku. Kubiarkan Pak Dwi betul-betul seakan melahap badanku. Aqu meraba, mengelus dan memijit kemaluannya yg semakin mengencang dan membesar. Juga aqu meraba bagian peka badannya yg lain. Tangan kananku mencoba meremas bokongnya yg gempal itu. Jari-jari tanganku mencoba merambat ke analnya. Kuraba, bulu-bulu analnya sangat lebat sampai merimbuni lubang analnya. Ingin rasanya aqu menikmati aroma wilayah ini. Aqu mendesah. Pak Dwi merebahkan badannya ke sofa sambil menarik badanku yg membelakanginya. Kemudian dia raih kaki kananku ke atas. Aqu tahu. Dia akan menembakkan kemaluannya dari arah belakangku. Aqu mencoba membantu dgn meraih kemaluannya untuk kuarahkan pada kemaluanku. Sambil saling berpagut dan melumat, kemaluan Pak Dwi menembus kemaluanku. Kemaluanqu melahap seluruh batangnya. Kemudian dia mulai memompa.

Saat itu dia berbisik di telingaqu. “Bu Graha, aqu sangat mengagumi Ibu. Ibu sangat mempesona dan berkarakter. Aqu selalu ngaceng kalau mengingat Ibu. Tadi malam aqu bangun dan perhatikan Ibu yg telanjang. Oh, indah sekali. Aqu ingin lebih lama memandangi, tetapi sebab AC kamar yg sangat dingin aqu tunda keinginanku. Aqu selimuti Ibu”.

Aqu tak membalas perkataannya. Aqu hanya melepas senyumku dan lebih melumatkan ciumanku. Aqu sangat senang dan bahagia bertemu dgn lelaki seperti Pak Dwi. Bisa bercinta dgnnya. Dan dia sangat menghormatiku. Dia telah menunjukkannya pada setiap servicenya bahkan sejak awal pertemuan kami kemarin.

“Bu, Bu Graha mau nggak kalau..?”, pertanyaannya tak diteruskan. Aqu hanya mendesah, “Heecchh..?”. “Saya ingin sekali lagi ngentot mulut Bu Graha”, dia melanjutkan maksudnya.

Sekali lagi aqu tak menjawabnya melalui kata. Aqu memeluknya dgn penuh semangat dan hasrat. Dan Pak Dwi yg langsung tahu, bahwa aqu akan dgn segala senang hati melaqukan keinginannya. Dia bangkit dan membopongku ke ranjang. Kali ini dia yg bergolek telentang. Dia ingin aqu yg berperan aktif. Aqu sambut keinginannya. Aqu turun dari ranjang dan berlutut meraih kaki-kakinya. Seperti yg dilaqukannya padaqu kemarin, kulaqukan hal yg sama padanya sekarang. Dgn segenap perasaan dan kelembutan, aqu mulai menjilat dan menggigiti kaki, jari-jari kaki, telapak kaki dan tumit-tumitnya.

Pak Dwi menggelinjang. Dia mengaduh-aduh kenikmatan. Tangannya meremas bantal di ranjang. Matanya membeliak ke atas menerawang menikmati birahinya yg terlempar dan terayun-ayun dalam alun gelombang samudra nikmatnya bercinta. Ciuman dan jilatanku merambati kaki-kakinya. Betis, paha dan selangkangannya. Bulu-bulu itu sangat membuatku bergairah. Aqu meremas-remas bagian-bagian badannya dgn penuh greget. Ciumanku menyedot sampai meninggalkan cupang-cupang memerah di paha dan selangkangannya. Aroma selangkangannya membuatku setengah gila menerima kenikmatannya. Kubenam-benamkan mukaqu ke selangkangannya itu. Rambutku yg panjang beberapa kali kusibakkan agar tak menghalangi isapan dan sedotan bibirku. Dan saat mulutku mulai mengulum biji pelirnya, tangan Pak Dwi tak kuasa lagi untuk diam. Diraihnya rambutku dan dihelanya ke atas sampai terasa pedih pada kulit kepalaqu. Rambutku yg meruapakan mahkotaqu itu diremas-remasnya. Aqu sengaja belum menyentuh kemaluannya yg telah menjulang keras dan kaqu. Batangnya penuh dilingkari urat-urat dan kepalanya yg tegang mengkilat-kilat masih belum menarikku untuk menjamahnya.

Ada keinginanku yg akan kulaqukan terlebih dahulu. Ini adalah obsesiku yg terlahir tadi saat mulai bercumbu. Aqu ingin menciumi lubang pantatnya. Aqu ingin menenggelamkan mukaqu ke celah bokongnya yg telah kuraba bulu-bulunya yg sangat rimbun tadi. Dan puncak keinginanku itu langsung didorong oleh gejolak libidoku. Kubalikkan badan Pak Dwi yg tinggi besar itu. Kini aqu seakan berubah menjadi betina yg dgn liar dan buasnya menggapai mangsanya. Tahu mengenai laba-laba betina yg akan dikawini oleh laba-laba jantannya? Begitu sang jantan selesai melaqukan tugasnya, maka seketika itu pula si betina akan merangsek dan menangkapnya. Ya, sang jantan itu akhirnya dilahap dalam arti sebenarnya sebagai mangsanya.

Dan aqu telah ‘menangkap’ Pak Dwi. Dalam tingginya birahi yg sedang melandanya, Pak Dwi akhirnya akan menyerah terhadap apapun yg akan kulaqukan. Saat aqu menyaksikan pesona bulu-bulu kelelakian yg tumbuh di mana-mana di badan Pak Dwi, hasrat betinaqu muncul. Aqu langsung membenamkan diri di selangkangan belakangnya. Aqu cium dan kujilati tempat itu. Dan aqu terus merangkak lebih ke atas. Aqu memintanya dgn isyarat agar Pak Dwi menungging. Dan pesona bulu anal di celah pantat Pak Dwi yg rimbunnya sampai menutupi analnya kini terpampang tepat di depan wajahku. Celah pantatnya kurekahkan. Kulihat samar-samar lubang duburnya. Kudekatkan wajahku. Aqu mulai menciuminya. Semerbak bau analnya langsung menyergap hidungku. Aqu telah lupa daratan. Kubenamkan saja hidungku ke dalamnya. Lidahku menari-nari mencari lubang itu.

Pak Dwi mengaduh. Tangannya menggapai-gapai untuk meraih kepalaqu. Aqu tahu, dia ingin agar aqu lebih membenamkan kepalaqu lagi ke dalam bokongnya. Sementara itu tangan kiriku meraih kemaluannya yg menggelantung. Tetap tegang. Kukocok kemaluannya itu pelan. Kuelus kepalanya, jari-jariku meraba lubang kencingnya. Rupanya Pak Dwi telah menemukan puncak dari segala puncak nikmat birahinya. Dia langsung mengambil alih perananku. Dia kembali menjadi penguasaqu. Dan aqu kembali tunduk pada kemauannya. Dia balik telentang.

“Aqu mau keluarr.., Bu Grahat.., isep kemaluanku, Buu.., ayyoo isepp Buu..”.
Ah, saatnya datang. Kraih kemaluannya dan kugenggam. Kudekatkan bibirku. Aqu mulai menyapu kepalanya dgn jilatan-jilatanku. Kemudian kutelan kepala dan batang itu. Aqu tahu, kalau telah seperti ini, Pak Dwi tak akan mungkin mampu bertahan.

Dan saat cairan lendir panas menyemprot langit-langit mulutku, dgn teriakan histeris keras, Pak Dwi kembali meremas-remas kepalaqu. Pantatnya diangkat-angkat sampai menyodok tenggorokanku. Aqu terus memompanya dgn mulutku sampai tangan Pak Dwi merenggut kepalaqu.

“Telah, telah Bu. Aqu nggak tahan. Ngilu banget rasanya, Bu.., lepaskan Bu Grahat.., oohh”. Kulepaskan kemaluannya dari mulutku. Aqu kecapi spermanya di mulutku. Dan kemudian kutelan. Wow, sarapan keduaqu.

“Telah, telah Bu. Aqu nggak tahan. Ngilu banget rasanya, Bu.., lepaskan Bu Grahat.., oohh”. Kulepaskan kemaluannya dari mulutku. Aqu kecapi spermanya di mulutku. Dan kemudian kutelan. Wow, sarapan keduaqu.

Disinilah kelebihan seorang wanita. Dia telah cukup puas jika telah melihat pasangannya dapat menikmati kepuasannya. Itu merupakan kepuasan utamanya. Dan untuk para lelaki egois, menganggap hal itu masalah biasa. Dianggapnya memang para wanita tak terlalu memerlukan klimaks pada setiap persenggamaan. Dan toh memang terbukti, anak-anak tetap lahir, kehidupan rumah tangga tetap berjalan seperti biasa dan sebagainya dan sebagainya. Tapi Pak Dwi ternyata memang berbeda. Dia masih berusaha merespons ciumanku di dadanya. Hanya saja naluriku telah berkata untuk mencukupkannya dulu. Aqu katakan pada Pak Dwi bahwa rasanya badanku telah lelah dan ingin agar pertemuan ini segera ditelahi. Dia dapat memakluminya.

Dia telepon ke front office untuk segera check out dan agar disiapkan administrasi pembayarannya. Aqu pergi mandi sekali lagi. Aqu perlu meyakinkan diri bahwa aqu dalam keadaa segar dan bersih saat aqu pulang nanti. Ketika Pak Dwi juga telah kembali merapikan diri dan siap pulang, dia mendekatiku. Dari saqu celananya, dia keluarkan amplop putih yg menggembung.

“Maaf Bu Graha, aqu ingin menyatakan rasa bahagia dan terima kasihku. Ini sama sekali bukan pembayaran, Bu. Ini adalah kebahagiaan yg ingin kushare bersama Ibu. Terimalah”.
Aqu tahu dia memberiku uang. Kali ini aqu menolaknya. Kusampaikan bahwa aqu juga senang dgn apa yg telah kami alami bersama, bisa saling bertemu dan meraih kenikmatan bersama. Kukatakan bahwa apa yg telah ditunjukkan dan diberikannya padaqu sangat luar biasa untukku. Kukatakan juga bahwa aqu merasa sangat dihormati, dihargai dan aqu merasa sangat tersanjung sebabnya. Aqu tak pernah dan tak akan pernah mengaitkan hal-hal seperti ini dgn urusan uang. Kukatakan bahwa sebenarnya aqu adalah “penikmat seksual” dalam arti sebenarnya. Aqu tak harus mencari yg tampan, kaya dan sebagainya. Aqu akan suka pada siapapun yg memang kusuka. Dan itu semua harus ada nilai seninya. Nilai seni bercinta. Dan tak seorangpun mampu membeli kenikmatan seni bercinta itu.

Pak Dwi memandangiku. Dia nampak mengagumi cara pandangku pada kehidupan seksualku. Dia baru memahami bahwa demikianlah aqu adanya.
“Ah, maaf Bu Graha mengenai masalah villa Bogor itu. Dgn ucapan Ibu barusan, rasanya saya keliru kalau berprasangka buruk pada Ibu. Maafkan saya, Bu”.

“Tetapi, janganlah Ibu tolak kebahagianku ini. Dgn pemahamanku mengenai bagaimana Bu Graha memandang seni cinta tadi, aqu semakin menghormati Ibu dgn sepenuh hati saya”.

Dan Pak Dwi tetap memaksaqu untuk menerimanya. Akhirnya aqu membiarkannya saat amplop itu disisipkan ke kantong plastik indah dari Oscar, yg sekarang fungsinya adalah untuk membawa pulang pakaian kotorku. Kami sepakat, Pak Dwi akan mengantarku sampai ke lobby Sogo Departement Store dalam bangunan yg sama dgn Grand Hyatt Hotel ini di lantai bawah.

Sebelum benar-benar keluar pintu kamar, sekali lagi kami saling berpagut dan melumat cukup lama. Pukul 2 siang aqu telah di rumah. Ada beberapa surat yg disisipkan ke bawah pintu. Saat aqu mengeluarkan pakaian kotorku ke mesin cuci, kutemukan amplop pemberian Pak Dwi. Tebal juga. Kutengok isinya. Oohh.., tak salahkah ini..? Kudapati 2 ikat 100 ribuan rupiah dan 7 lembaran 100 US dollar-an. Bukankan ini artinya senilai lebih dari 25 juta rupiah Pak Dwi telah membagi ‘kebahagiaannya’ untukku. Wow, bukan main orang itu. Bukan berarti aqu bahagia sebab kemaluanku telah dapat menghasilkan uang sebanyak itu, tetapi yg kurasakan adalah adanya getaran erotis saat memegang ikatan-ikatan uang itu. Bagaimanapun uang itu memang ada kaitannya dgn kemaluanku yg sempat dinikmati lelaki lain yg bukan suamiku. Dan untuk kenikmatan yg didapatkannya itu, dgn senang hati dia mengeluarkan uang sebanyak itu untukku. Kemana harus kusimpan ini? Tentu aqu tak ingin diprasangkai oleh Mas Graha dgn uang sebanyak ini. Menyenangkan sekaligus membingungkan. Ah biarlah, untuk sementara uang ini tak akan kugunakan. Akan kumasukkan saja ke rekening bank-ku. Mungkin ini juga merupakan rejekiku yg harus kubagikan pada orang lain yg lebih memerlukannya.

Dan sesuai dgn janji Pak Dwi, sekitar 10 hari sepulang bertugas dari Kalimantan yg dinilai sukses oleh perusahaan, Mas Graha kemudian diangkat menjadi Wakil Direktur. Hal itu terjadi 20 hari lebih cepat daripada yg pernah dibicarakannya padaqu. Saat pengangkatan jabatannya yg baru, semua jajaran karyawan perusahaannya hadir untuk memberikan selamat pada Mas Graha dan juga kepadaqu sebagai istrinya.

Tamat