zmedia
RGOPOKER 
BROTOGEL

Cerita Rahasia Ke-7

Tidak ada voting

Tatapan dan air mata Shana terus menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yg bisa kubuat supaya aqu tak usah peduli, tetapi kenyataannya aqu merasa hidupku hancur berantakan. Rasanya bernafas saja sulit.

Apa yg sudah aqu laqukan? Apa yg telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aqu mengingatnya.

Tepat setelah kejadian ironis itu usai, Ghea sempat minta sorry padaqu. Awalnya dia cuma terdiam. Kita kembali mengenakan pakaian kita yg tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi pakaiannya, belum memakai celana, ia menatapku tanpa suara. Aqu mengancingi celanaqu dan menunggu ia mengeluarkan kata-kata.

“Sorry kak,” ucapnya.

Hatiku semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aqu yg memulainya terlebih dulu. Lagipula kalo mau jujur, aqu yg bersalah padanya. Aqu telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan rasa kesepianku yg dalam. Bukan salah dia kalo akhirnya aqu mendapat batu dari perbuatanku sendiri.

“Bukan. Aqu yg harusnya bilang sorry. Aqu khilaf.” jawabku.

Setelah itu ia memelukku. Pelukan yg tanpa nafsu, tetapi penuh dengan rasa gelisah. Beberapa menit kemudian aqu mengantarnya pulang.

Beberapa hari kemudian di campus aqu sempat bertemu dengan Shinta dan geng power rangers yg lain, kecuali Shana. Beda dengan sebelumnya, kali ini Shinta tak terlihat terlalu murung. Kita duduk di kantin untuk makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol.

“Eh Bro, gimana tuh kabar nya si Sarah?” tanya Rendy pada Gilang sambil menyikut lengannya. Sarah adalah gebetan Gilang yg pernah dia ajak bersama kita ke festival campus.
“He he he… baik-baik aja koq.” Gilang megagruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalo sedang grogi.
“Tumben tampang loe kaya gitu. Biasanya kaloe ngomongin gebetan tampang loe stay cool aja. Pasti ada yg beda nih sama gebetan loe yg satu ini?” Shinta ikut-ikutan menyindir sambil melahap bakso di depannya.
“Bisa aja loe semua…., biasa aja koq.”
“Di, loe inget ga? Sewaktu abis nganterin kita pulang dari festival musik di campus Z waktu itu, si Gilang kan jalan terus tuh sama si Sarah, kemana coba?” tanya Rendy padaqu.
“Hmmm… ke mana ya? Diajak ke rumahnya kali?” jawabku ragu-ragu.
Rendy menoleh ke arah Gilang sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak.
“Loe bawa ke rumah?”
“Gagk lah!” sagagh Rendy.
“Loe tunjukin koleksi bokep original loe ya?” ucap Shinta. Gilang tertawa terbahak-bahak.

“Sialan loe semua. Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu aqu langsung nganterin dia pulang koq!” Gilang membela diri.
Sewaktu kita sedang asyik menggoda Gilang, Shinta menngangkat panggilan masuk di hp-nya. Aqu tak terlalu jelas mendengar apa yg ia katakan, awalnya wajah Shinta terlihat ketus, tetapi tak lama kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya.

“Woy, guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!” ucap Shinta setelah menutup teleponnya.
Kita semua terdiam dan memandangi Shinta, penasaran dengan apa yg ingin ia katakan.
Shinta memajukan kepalanya dan berbisik.
“Guys, temen kita si ranger pink yg udah lama ga muncul katanya mau dateng ke sini… dan mau nraktir kita makan sepuasnya!”

DEG! Jantungku seolah berhenti berdegub. Sementara itu Gilang dan Rendy bersorak gembira, aqu berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.

Jantungku berdegub kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aqu bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aqu bisa pura-pura pergi ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalo nanti ada yg bertanya aqu bisa bilang kalo aqu ada keperluan mendadak.
Sebelum aqu sempat melaqukan itu, Shinta sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aqu menoleh ke arah yg ditunjukkan Shinta, lalu aqu dapat melihat Shana berjalan ke arah kita dari salah satu sudut kantin. Ia memakai t-shirt ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yg berbeda dari biasanya. Shana memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek seleher, memperlihatkan lehernya yg indah, membuat ia terlihat lebih seksi.

Ia berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdegub. Kemudian Shana menghampiri Shinta dan cipika-cipiki seperti kawan lama yg baru bertemu kembali.

“Buset! Potong rambut loe Shan?” goda Shinta.
“Iya dong! Pantes gag rambut baru aqu?” ujar Shana sambil membelai rambutnya sendiri. Samar-samar aqu dapat mencium wangi parfum Shana. Lebih harum dari biasanya. Saat ia bicara aqu juga dapat melihat bibirnya yg dibalut lip gloess seolah terlihat basah.
“Kemana aja loe?” sahut Rendy.
“Iya, gagk pernah muncul. Pacaran mulu loe ya?” tambah Gilang.
“Ada deeeh… Ntar aqu jelasin!”
“Payah loe ah. Kasian tuh si Adi, kangen sama loe, daritadi diam terus… Hahahaha” ucap Gilang. Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aqu tau dia cuma bercanda, tetapi ucapannya begitu telak membuat aqu dan Shana sama-sama terdiam.
“Hahahaha…. boro-boro aqu kangen….. kangen band kali!” aqu mencoba ikut bercanda, tetapi jadi terdengar maksa.

Shana duduk di kursi kosong di sebelah Shinta, tepat di hadapanku. Kemudian ia merebut es teh manis Shinta dan menyedotnya tanpa meminta izin. Shinta protes, dilanjutkan dengan candaan Gilang dan Rendy yg sangat garing. Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti suasana persahabatan kita dulu, suasana yg nyaman dan menentramkan yg sangat kita rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti dulu. Tetapi aqu tau saat ini ada yg berbeda, setaknya bagiku dan Shana.

“Jadi begini kawan-kawan…” Shana mulai membuka suara,
“aqu minta maaf kalo selama ini aqu sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian… aqu emang sempat ada masalah yg makan perhatian banget. Tetapi sekarang…., aqu bawa kabar gembira.”
“Kabar gembira apa Tan?” tanya Rendy penasaran.
Shana dan Shinta senyum-senyum, mereka sudah mengetaui sesuatu. Selama beberapa detik, Shana melirik ke arahku, kemudian kembali membeloekkan pandangan.
“Aqu…Ehm… Sebentar lagi aqu bakal… tunangan.” ucap Shana. Suaranya agak gemetar ketika mengucapkan itu.

Sorak sorai Rendy dan Gilang terdengar bersahutan, Shinta mengacak-acak rambut pendek Shana. Gilang mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kita semua bersulang, seperti adegan bar di filem-filem. Tak perlu dijelaskan lebih lanjut, aqu tau dengan sapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun dimulai. Gilang, Rendy dan Shinta bergantian menanyai Shana soal rencana pertunangannya itu.

Dengan kaki yg lemas, aqu bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah Shana. Aqu berusaha tersenyum.
“Congrats ya ya…” ucapku.

Shana menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tetapi pandangan matanya terus menunduk.
Aqu tak tahan lagi, aqu harus segera pergi dari sini.

“Eh guys, sorry ya. Aqu harus cabut duluan nih. Aqu baru inget kalo siang ini aqu udah ada janji sama dosen,” ucapku dengan terburu-buru.
“Ah gagk asik loe di!” gerutu Rendy.
“Iya… Rugi loe, gagk dapet traktirannya Shana,” ujar Gilang.
“Sorry, sorry banget!” ucapku. Kemudian aqu menoleh ke arah Shana.
“Sorry ya, Shan.” ucapku.

Kawan-kawanku yg lain mungkin berpikir aqu meminta sorry karena tak bisa mengikuti acara perayaannya, tetapi aqu dan Shana sama-sama tau, kata sorry itu punya makna yg lain, makna yg lebih dalam dan lebih luas.

“Sorry, aqu harus pergi sekarang,” ucapku lagi.

Saat aqu membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yg menahanku. Tetapi sepertinya aqu mendengar suara Shana memanggil namaqu pelan. Tetapi… mungkin itu cuma imajinasiku saja.

Di depan campus, tanpa sengaja aqu bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara kita.

“Ghe, ikut yuk!” aqu menarik tangannya. Untung ia sudah usai memfotokopi.

Aqu mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah caffe yg letaknya agak jauh dari campus.

Sebenernya aqu tak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian, tetapi masalahnya cuma dia saja yg mengetaui soal hubunganku dengan Shana, aqu tak tau lagi harus bercerita pada sapa kalo bukan dengan Ghea. Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat, seperti orang yg sedang berpacaran. Aqu dapat merasakan buah dadanya yg menempel di punggungku, tetapi pikiranku sedang kacau, jadi aqu tak bisa menikmati hal itu.

Di caffe, kita duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kita pun memesan minuman dingin.

“Kenapa bang?” tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.
Aqu menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yg terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot minuman yg baru saja diletakkan pelayan di meja kita.
“Jadi, Bang Adi masih mengharapkan Shana?” tanya Ghea.
“Gagk…. Gagk tau….” jawabku. Aqu memang tak tau apa yg sebenernya kuharapkan.
“Mungkin Bang Adi cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan Abang yg sebenernya ke dia, kan?” ucapnya lagi.
Aqu termenung. Mungkin bener yg diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah semacam obsesi.
“sooo menurut kamu?”
“Bang Adi harus ungkapin dengan jujur apa yg Kak Adi rasain selama ini pada Shana secara langsung, supaya gagk ada beban lagi. Setelah itu….” Ghea menghentikan ucapannya.
“Setelah itu?”
“Setelah itu, lupain dia.”
Aqu terhenyak. Melupakan Shana?
“tapii….” gumamku ragu-ragu.
“Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah buat pilihan masing-masing kan? Shana udah punya tunangan… dan Bang Adi…. udah punya aqu.”

Aqu kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aqu mulai bisa menebak. Jangan-jangan apa yg terjadi di antara kita waktu itu dia agagp sebagai tanda bahwa kita….

“Ghe… di antara kita gagk ada apa-apa.” ucapan itu begitu saja keluar dari mulutku.

Genggaman tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya terlihat agak gemetar. Ketika aqu melihat wajahnya, aqu dapat melihat api yg membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan. Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.
“Denger ya bang…. aqu memang bukan perempuan yg sok suci seperti Shana… tetapi aqu juga bukan pelacur munafik seperti dia yg bisa bang Adi jadiin sex friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!”

Ghea bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari caffe dengan penuh amarah. Aqu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam hati. Aqu kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aqu salah, aqu malah semakin terpuruk.

Sabar ya pembaca yang budiman…